Skip to main content

sstudi Al-Qur'an (qira'ah)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia sekaligusmenjadi penjelasan dari petunjuk sehingga kemudia mampu menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Kemampuan  setiap orang dalam memahami lafadzh dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang dhohir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Diantara cendekiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman yang berbeda maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umat melalui pengkajian terutama dalam rangka merafsirkan kata-kat ghorib (aneh) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat)dan menerjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
1.2 Rumusan Masalah
            a. apa yang di maksud qira’at ?
            b. apa yang di maksud tafsir ?
            c. apa yang di maksud takwil ?
            d. apa yang di maksud terjemah ?
1.3 Tujuan
            - Agar pembaca dapa memahami dan mengerti tentang qira’at.
            - Agar pembaca dapa memahami dan mengerti tentang tafsir.
            - Agar pembaca dapa memahami dan mengerti tentang takwil.
            - Agar pembaca dapa memahami dan mengerti tentang terjemah.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Qira’ah Al-Qur’an
A. Pengertian Qira’at
            Qira’at menurut bahasa adalah bentuk jamak dari qira’ah. Sedangkan menurut terminologi qira’ah adalah perbedaan lafazh-lafazh wahyu yang disebutkan (Al-Qur’an) dalam penulisan huruf, atau cara mengucapkan lafazh-lafazh Al-Qur’an seperti ringan dan berat serta lainnya.
Sebagian ulama mendefinisikan qira’ah sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya secara mutawatir.”
            Berdasarkan definisi kedua ini, maka yang dimaksud dengan “kalimat-kalimat Al-Qur’an” adalah kalimat atau kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an mulai dari awal A-Fatihah sampai akhir An-Nas. Tata cara mengucapkan kata-kata tersebut harus berdasarkan kaidah yang telah ditentukan, seperti membaca saktah (berhenti sejenak tanpa bernafas) pada kata ‘iwaja surat Al-Kahfi dan sebagainya.
            Qira’at bukan ciptaan para imam qira’at, tapi ia datang dari Rasulullah SAW. Qira’ah diturunkan bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, artinya qira’ah itu termasuk dalam Al-Qur’an. Kemudian qira’ah dinisbahkan kepada seorang Imam qira’ah yang meneliti dan menyeleksinya, maka jika ada orang yang mengatakan qira’ah Qalun, berarti qira’ah tersebut adalah hasil penelitian dan penyeleksian Imam Qalun, bukan qira’ah hasil ciptaan dan rekayasa Qalun.
B. Perbedaan Sab’atu Ahruf  dengan Qira’ah Tujuh
            Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan keduanya, maka akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian sab’atu ahruf. Sab’atu ahruf  terdiri dari dua kata yaitu sab’ah yang artinya tujuh dan ahruf  yang memiliki banyak makna antara lain: huruf hujaiyah, bahasa, ujung dari sesuatu, segi.
            Sebagian ulama berpendapata bahwa, sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang terkenal di kalangan bangsa Arab, tetapi maknanya berbeda. Ketujuh bahsa tersebut yaitu Quraisy, Hudzayl, Saqif, hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Sementara istilah qira’ah as-sab’ (tujuh bacaan) ini muncul pada abad keempat hijriyah di tangan Imam Ahmad bin Musa bin al-Abbas yang masyhur dengan sebutan Ibnu Mujahid (w.324 H). Berdasarkan hasil berkembang waktu itu,  Ibnu Mujahid menyimpulkan bahwa hanya ada tujuh macam qira’ah yang dianggap memenuhi syarat dan layak diterima sebagai Qira’ah Al-Qur’an. Tujuh macam qira’ah itu adalah Imam Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, dan Kisa’i. Maka sejak itulah qira’ah tujuh melembaga dan dikenal oleh generasi setelahnya dengan istilah qira’at as-sab’.
            Jadi qira’at as-sab’ qira’ah yang diriwayatkan oleh imam tujuh, sedangkan qira’at sab’atu ahruf adalah tujuh bentuk bacaan yang dibacakan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad atau yang disebut oleh hadis dengan istilah sab’atu ahruf.
C. Klasifikasi Qira’ah
            Para ulama mengklasifikasi qira’ah menjadi enam yaitu :
a.       Qira’ah mutawatirah, yaitu qira’ah yang diriwayatkan oleh banyak  perawi yang tidak mungkin melakukan dusta hingga sampai rawi paling atas (RasulullahSaw). Qira’ah mutawatir wajib diterima dan dipakai untuk membaca Al-Qur’an.
b.      Qira’ah masyhurah, yaitu qira’ah yang sanadnya sahih, tapi tidak mencapai derajat mutawatir sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sesuai dengan salah satu rasm utsmani. Seperti qira’ah yang dinisbatkan kepada tida iman di atas, walaupun jumhur ulama memasukkan ketiga imam tersebut kepada qira’ah mutawatir.
c.       Qira’ah ahad, yaitu qira’ah yang sanadnya sahih, tapi menyalahi salah satu rasm utsmani atau menyalahi kaidah bahasa Arab.
d.      Qira’ah sydzhzah, yaitu qira’ah yang tidak sahih sanadnya, walaupun sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm utsmani.
e.       Qira’ah mudrajah, yaitu kata atau kalimat yang ditambahkan atau diselipkan pada ayat Al-Qur’an.
f.       Qira’ah maudhu’ah, yaitu qira’ah yang tidak bersumber dari Nabi, hanya merupakan buatan seseorang.[1]
2.2 Tafsir
            A. Pengertian Tafsir
            Tafsir menurut bahasa berarti menjelaskan dan menyingkapk makna. Jadi tafsir adalah menyingkap makna yang tersembunyi, menyingkap maksud dari lafadh yang sulit.
            Az-Zarkasyi mendefinisikan tafsir sebagai berikut: Tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat Al-Qur’an, Surat-suratnya, kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun bersamaanya, makkiyah dan madaniyyahnya, muhkam dan mutasyabihatnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan mufashalnya, dan lain-lain.
            B. klasifikasi Tafsir
            Para ulama mengklasifikasi tafsir menjadi tiga macam yaitu tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi ar-ra’yi, tafsir bi al-isyarah. Berikut penjelasannya:
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-ma’tsur berarti sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bi al ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan hadis Nabi SAW., penafsiranAl-Qur’an dengan perkataan sahabat, penafsiran Al-Qur’an dengan tabi’i.
Tafsir Thabari misalnya, sekalipun di dalamnya dia berijtihad dengan menggunakan bahasa, sya’ir Arab, qira’at,Ilmu nahwu, fiqh, namun dia selalu memihak pada pendapat ulama salaf  dan kembali pada nash Al-Qur’an, maka tafsirnya masih dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur.
2.      Tafsir  Bi ar-Ra’yi
Secara bahasa bi ar-ra’yu berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al’alqu (akal) dan at-tadbiru (perenungan). Ahli fiqih sering berijtidah, biasa disebut sebagai ashab ar-rayi. Karena itu tafsir  bi ar-ra’yi disebut juga sebagai tafsir  bi al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut istilah, tafsir bi ar-ra’yu  adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an tas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh didalam Al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.
Ijtihad yang dimaksudkan di tafsir bi ar-ra’yu adalah kesungguhan seorang mufassir untuk memehami makna nash  Al-Qur’an, mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung didalamnya. Contoh keteladanan dan lain sebagainya.
Macam-macam tafsir bi ar-ra’yi
a.       Tafsir bi ar-ra’yi al-mahmud (terpuji)
Tafsir bi ar-ra’yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, dan sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash Al-Qur’an.
b.      Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum (tercela)
Tafsir bi ar-ra’yi dianggap tercela bila menafsirkan Al-Qur’an menurut selera penafsir sendiri, di samping tidak menetahui kaidah-kaidah bahasa dan hukum, atau membawa Firman Allah SWT kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid’ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT.



3.       Tafsir bi al-isyarah
Tafsir bi al-isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hati.[2]
2.3 Takwil
A. Pengertian
Pengertian takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Kata takwil diambil dari kata awwala-yu’awwilu-takwilan. Al Qaththan dan Al Jurjani berpendapat bahwa arti takwil menurut lughat adalah aru-ruju’ ila al-ashl (kembali pada pokoknya) Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqani adalah sama dengan arti tafsir.
Adapun mengenai arti takwil menurut istilah, banyak para ulama memberikan pendapat, antara lain sebagai berikut :
a.       Imam Ghazali dalam kitab Al Mustashfa
Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukan oleh lafazh zhahir.
b.      Imam Al Amudi dalam kitab Al Mustashfa :
Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil
c.       Para muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ushul fiqih, yaitu :
·         Menurut Wahab Khalaf :
Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil
·         Menurut Abu Zahrah
Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnya
d.      Menurut ulama salaf :
·         Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.
·         Hakekat sebenarnya yang dikehendaki oleh suatu ungkapan .
e.       Menurut ulama khalaf :
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu
B. Objek Takwil
1. Kajian takwil, sebagaimana ijtihad dengan ra’yu, tidak menyangkut nash-nash yang qath’i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah – kaidah syara’ yang bersifat umum atau kaidah – kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya.
2. Takwil juga tidak menyangkut hukum – hukum agama penting lainnya yang mudah atau sulit untuk dipahami yang merupakan dasar – dasar syariat.
3. Takwil juga tidak menyangkut peraturan – peraturan syari’at yang bersifat umum, diantaranya bahan –bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena maksud syara’ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti spekulatif.
4. Kebanyakan takwil mengkaji tentang furu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-syaukani.
5. Membahas hal – hal yang jelas dan nash .
6. Membahas lafazh – lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak merupakan suatu lafazh yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.
7. Menurut Hanafi takwil mencakup nash dan zahir.
Dalil – dalil penunjang takwil (2)
1.      Nash dari AlQuran dan Asshunah
2.      Ijma’
3.      Kaidah – kaidah umum syariat yang diambil dari Alquran dan Sunah
4.      Kaidah – kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal – hal yang bersifat juz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’ya
5.      Hakikat kemaslahatan hukum
6.      Adat yang diucapkan dan diamalkan
7.      Hikmah syariat atau tujuan dari syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan akhlak.
8.      Qiyas
Landasan Umum Takwil
Mengamalkan dalil sesuai konteks kebahasaanya dan mengambil ketetapan hukumnya karena sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa . karena takwil itu mengubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa, dan tidak ada takwil jika tidak ada dalil. Dan Alquran jugadalam penjelasannya mengikuti perkembangan bahasa dan teksnya, begitu pula sunah dan setiap perundang – undangan yang ditulis dengan bahasa Arab
Syarat – syarat takwil
1.      Lafazh yang ditakwili, harus benar benar memenuhi kriteria dan masuk dalam kajian
Menurut hanafiyah takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat Islam
2.      Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3.      Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, konstekstual, atau majaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau adat syara’.
4.      Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan qath’i .
5.      Arti penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.4Jika ada pertentangan antara nash dan zhahir, maka tidak diragukan lagi kalau nash itu mentaksis yang zhahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu seperti ucapan yang membutuhkan arti asli, maka nash juga harus diutamakan.
6.      Takwil Ba’id
Jika suatu penakwilan tidak memenuhi pesyaratan yang sebelumnya(poin 1 sampai 5), maka penakwilan itu termasuk takwil Ba’id
            Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah[3](1)
            Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di lain pihak adalah tafsir dan takwil berupaya menjelaskan makna setiap kata di al quran sedangkan terjemah hanya mengalih bahasa al Quran dari bahasa arab ke dalam bahasa Arab.
Tafsir
Takwil
Lebih umum dan lebih banyak digunakan utuk lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab – kitab lainnya
Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti
Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah
Menerangkan makna lafazh, baik berupa hakikat atau majaz
Lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab – kitab yang diturunkan Allah saja
Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil
Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah
Menafsirkan batin lafazh.

2.4 Terjemah
Terjemah menurut bahasa adalah salinandari suatubahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Adapun terjemah AlQur’an menurut Ash – Shabuni adalah memindahkan Al Quran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT, dengan perantara terjemahan ini.
Terjemahan di bagi menjadi berikut :
1.      Maknawiyyah Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, namun tidak terikat oleh leterleknya, melainkan oleh makna dan tujuan kaliamat aslinya.
2.      Harfiyyah bi al Mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata – kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya
3.      Harfiyyah bi dzuni al Mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata – kata bahasa asli ke dalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya.[4]

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a)      qira’ah sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya secara mutawatir.
b)      Tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat Al-Qur’an, Surat-suratnya, kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun bersamaanya, makkiyah dan madaniyyahnya, muhkam dan mutasyabihatnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan mufashalnya, dan lain-lain.
c)      takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukan oleh lafazh zhahir.
d)     Terjemah adalah salinandari suatubahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.


DAFTAR PUSTAKA
Anshori. Ulumul Qur’an. Cet I. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Anwar, Rosihun. Ulumul Qur’an. Bandung:Pustaka Setia, 2006.
Sfarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jilid I. Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.




[1] Anshori, Ulumul Qur’an (PT Raja Grafindo Persada:Jakarta,2013),hlm.143-153.
[2] Ibid.,hlm.167-183.
[3] Amir Sfaruddin, Ushul Fiqih(Logos Wacana Ilmu:Jakarta,1997),hlm..
[4]Rosihun Anwar, Ulumul Quran(Pustka Setia:Bandung,2006). hlm.215.

Comments

Popular posts from this blog

CONTOH MAKALAH KESADARAN (PSIKOLOGI)

KESADARAN Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Psikologi Umum Dosen Pengampu : Syarifuddin Faisal Tohar Disusun Oleh : Dina Veronita                    933608716 Kelas E JURUSAN USHULUDDIN PRODI PSIKOLOGI ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 2 016 KATA PENGANTAR Segala puji bagi   Allah SWT, yang telah memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan inayah Allah SWT a khirnya Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “ Psikologi Umum   ’’ .   Kediri, 26 Oktober 2016   Penyusun DAF

sahabat , tabi'in dan atba' tabi'in

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hadist   Nabi sampai kepada kita melalui proses periwayatan para periwayat dari generasi sahabat ke generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in kemudian dikodifikasikan. Para periwayat awal berkonsentrasi penuh dalam mempelajari autentik atau tidaknya suatu hadist melalui periwayatan ini. Mereka yang diterima periwayatannya berarti memenuhi persyaratan yang telah digariskan.   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa pengertian sahabat? 2.       Apa pengertian tabi’in? 3.       Apa pengertian atba’ tabi’in? C.      Tujuan 1.       Mengetahui pengertian sahabat 2.       Mengetahui pengertian tabi’in 3.       Mengetahui pengertian atba’tabi’in BAB II PEMBAHASAN A.     Sahabat Nabi a.        Pengertian sahabat Ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan sahabat. Menurut ulama’ hadits sahabat ialah setiap yang melihat rasulullah, walaupun tidak lama persahabatannya, dan tidak meriwayatkan sehadits

contoh makalah aliran behaviorisme (psikologi)

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Masalah Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, perilaku dan, proses mental, dalam Psikologi ada beberapa macam aliran salah satunya ialah aliran behaviourisme dalam aliran ini penelitian difokuskan pada tingkah laku manusia, dengan asumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan wujud dari kejiwaan   manusia maupun hewan lainnya. Alasan kita mempelajari tentang Psikologi Behaviorisme adalah agar kita mengetahui mengenai makna dari psikologi dan behavioristik itu sendiri. Kita juga akan  menjadi tahu hal-hal yang mungkin belum kita ketahui dalam Psikolgi Behaviorisme tersebut, karena dengan kita mempelajarinya bertambahlah wawasan kita mengenai ilmu Psikologi Behaviorisme itu.Selain itu kita dapat mengetahui pendapat-pendapat mengenai Psikologi Behaviorisme ini dari para tokoh-tokoh, dan lain-lain. 1.2   Tujuan - Untuk mengetahui makna dari Psikologi Behaviourisme - Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang mengemukakannya -