Skip to main content

contoh makalah visual imagery (psikologi kognitif)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1    apa pengertian imagery?
1.2.2    Sebutkan 3 era historis dalam perumpamaan mental?
1.2.3     Sebutkan klasifikasi imagery visual?
1.2.4    Jelaskan dukungan neurosains kognitif?
1.2.5    Jelaskan petakognitif?
1.2.6    Jelakan sinestesia: suara yang dihasilkan warna dan warna yang dihasilkan suara?
1.3  Tujuan
1.3.1    agar pembaca dapat mengerti dan memahami pengertian imagery.
1.3.2    agar pembaca dapat mengerti dan memahami  3 era historis dalam perumpamaan mental.
1.3.3    agar pembaca dapat mengerti dan memahami klasifikasi imagery visual.
1.3.4    agar pembaca dapat mengerti dan memahami dukungan neurosains kognitif.
1.3.5    agar pembaca dapat mengerti dan memahami petakognitif.
1.3.6    agar pembaca dapat mengerti dan memahami Jelakan sinestesia: suara yang dihasilkan warna dan warna yang dihasilkan suara
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Imagery
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membayangkan sesuatu dalam pikiran kita. Apakah ketika kita membaca novel, melamun angan-angan yang belum tercapai dan lain sebagainya,membuat kita merasa sedang melihat bayangan tersebut secara jelas.pada pembahasan psikologi kognitif hal tersebut disebut imagery.
            Imagery adalah proses membayangkan (memvisualisasikan) sesuatu yang tidak ada pada saat proses membayangkan. Sebagai contoh: kita membayangkan sebuah pantai yang indah dipagi hari yang dingin menusuk kulit, pada saat membaca sebuah novel. Imagery berarti perumpamaan, pembandingan, pembayangan yang dilakukan secara mental. Oleh karena itu jika menemukan istilah pembayangan mental atau perumpamaan mental, itu berarti merujuk pada definisi imagery. Selain itu, imagery memiliki banyak bentuk, misalnya visual (penglihatan), auditory (pendengaran, olfactory (penciuman), dan lain debagainya.[1]
2.2 Persepektif Historis
Kita dapat mengenal tiga era historis dalam sejarah perumpamaan mental: era filosofis, era pengukuran, dan era kognitif.
            Selama era filosofis, bayangan-bayangan mental dipandang sebagai bahan baku utama dalam pembentukan pikiran, dan terkadang dipercaya sebagai elemen-elemen pemikiran. Topik tersebut sangat diminati oleh para filsuf Yunani, terutama Aritoteles berkeley, David Hume, dan David Hertley.
            Era pengukuran perumpamaan mental diawali oleh ilmuan Inggris, Sir Francis Galton (1880, 1883/1907). Beliau membagikan sebuah kuesioner kepada 100 rekan-rekannya. Separuh dari responden tersebut adalah orang-orang  kenamaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Galton menerima para respondennya mengingat pemandangan-pemandangan yang mereka lihat saat sarapan pagi, dan selanjutnya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai gambaran yang mereka alami.
Hasil penelitian tersebut mengejjutkan Galton karena kelompokresponden yang terdiri dari para tokoh ilmu pengetahuan “mengajukan protes bahwa mereka tidak mengenal perumpamaan mental”, sedangkan para responden yang berasal dari masyarakat awam “melaporkan bahwa gambaran yang mereka lihat sama jernihnya dengan pengalaman perspektual yang sesungguhnya”. Pengujian imagery menrik minat sejumlah penelitian, seperti Ticthener (1909) dan Betts (1909). Dalam penelitian mereka,para partisipan sebuah wajah, atau matahari yang terbenam di ufuk horizon.
            Minat dam penyelidikan terhadap imagery dengan cepat meredup seiring runtuhnya mazhab introspektrum dan berkembangnya mazhab behaviorisme, sebagaimana dicontohkan dalam manifesto kaum behavioris (1913) karyaWaston. Manifesto behavioris, sebagaimana istilah Woodworth (1948), mencela instropeksi, yang sesungguhnya merupakan bagian penting dari pengujian-pengujian imagery sebagaimana yang dsebutkan sebelumnya.  Instrospeksi, menurut Waston tidaklah menjadi bagian penting terhadap respons-respons yang bisa diamati ( open response ), dan istilah-istilah seperti kesadaran, kondisi mental, pikiran dan imagery adalah anethema (tema yang dianggap tabu). Setiap penelitian yang menggunakan istilah-istilah tersebut akan menghacurkan kariernya sendiri. Sebagaimana berbagai tpik lainnya dalam psikologi kognitif, penelitian mengenal mental imagery pun terhenti selama beberapa dekade.
            Penelitian imagery dihidupkan kembali pada akhir era 1960-an, namun dalam dua kubu. Kubu pertama berkaitan dengan asesmen imagery secara kuantitatif (Sheehan, 1967b) dan penggunaan imagery sebagai sarana terapeutik. Kubu kedua jugga berhubungan dengan asesmen imagery, namun lebih contong kesisi teoretik, yang dipelopori oleh imagery melibatkan penggabungan konsep tersebut ke dalam suatu model kognitif, yang didalamnya memuat representasi pengetahuan sebagai elemen sentral. Pandangan ini tampak jelas dalam penelitian Sheoard (1975); Shepard daan Metzler (1971); dan yang lebih modern, dalam studi-studi neurokognitif oleh farah (1988), Kosslyn (1998), dan unik dari para penelitian tersebut.
2.3 Teori-Teori Representasi Pengetahuan Secara Visual
Setudi terhadap representasi pengetahuan secara visual memuculkan pertayaan yang lebih besar mengenai bagaimana informasi visual disimpan da diambil dari memori. Kita dapat mengajukan argumen bahwa aktivitas neurologis yang terasosialsi dengan penyimpanan informasi memiliki bentuk yang spesifik. Artinya, informasi visual disandikan sebagai suatu “gambar” internal yang dapat diaktifkan kembali dengan memanggil gambar tersebut, seperti saat kita mengamati sebuah album foto. Selain itu, kita dapat pula mengajukan argumen bahwa informasi visual akan disaring, dihimpun, dan disimpan sebagai “pertanyaan-pertanyaan”  abstrak mengenai bayangan atau citra yang bersangkutan. Reaktivitas memori kemudian akan terdiri dari pemanggilan sandi (codes) abstrak, yang selanjutnya akan merekontruksi bayangan subjektif yang terasosiasi dengan sandi tersebut. Akhirnya, kita dapat mengajukan argumen bahwa sejumlah informasi disimpan secara visual dan sejumlah informasi lainnya disimpan dalam bentuk abstrak, yang mengindikasikan keberadaan sandi-sandi yang beragam dalam pikiran.
            Kemajuan yang sesungguhnya terjadi dalam upaya mencari pemahaman yang lebih baik mengenai imagery. Kemajuan tersebut di  dapat melalui teknik-teknik penelitian yang berdaya cipta (inventive research techniques) dan hasil-hasil yang tegas (clear-cut results). Pada saat ini masih terdapat perdebatan mengenai apakah perumpamaan visual sungguh-sungguh bersifat visual ataukah dikendalikan oleh proses-proses kognitif yang bertujuan umum (yang berbeda dengan proses-proses visual yang spesifik). Argumen yang mendukung proses visual menyatakan bahwa perumpamaan mental melibatkan representasi-representasi yang sama sebagaimana yang digunakan sebagai penglihatan, sehingga kita “melihat” sebuah pohon sungguhan, sistem kognitif akan mengaktifkan pemrosesan neural dan representasi-representai yang spesifik. Ketika kita “membayangkan” sebuah pohon, sistem kognitif akan mengaktifkan proses-proses dan representasi yang sama (atau sangat serupa). Sisi lain argumen ini adalah bahwa representasi-representasi yang digunakan dalam imagery tidaklah sama dengan representasi-representasi yang digunakan dalam persepsi yang sesungguhnya. Argumen ini berisikan gagasan bahwa “berfikir dalam wujud gambar” (thinking in pictures) pada dasrnya melibatkan pengetahuan yang paling tepat di ekspresikan dalam bentuk representasi pengetahuan secara tradisional (sepertacara proposionalatau secara asosiatif).[2]
Teori terkini mengenai perumpamaan mental berfokus pda tiga hipotesis sentral:
       a.            Hipotesis penyandian ganda (dual-coding hypothesis)
Hipotesis mengenai keberadaan dua sandi dan dua sistem penyimpanan (sandi dan sistem penyimpanan pertama bersifat khalayalan dan yang lainnya bersifat verbal). Informasi dapat disimpan secara imaginal atau verbal atau keduanya. Hal seperti ini dapat dilihat dari karya Paivio.
      b.            Hipotesis proposional konseptual (conceptual-propositional hypothesis)
Infomasi visual dan verbal direpresentasikan dalam benruk proposisi-proposisi abstrak mengenai objek-objek beserta hubungannya. Hipotesis ini dalam karya Anderso , Bower, Pylyshyn.
       c.            Hipotesis ekuivalensi funsional (funcional-equivalency hypotesis)
Yang mengatakan bahwa imagery dan persepsi melibatkan proses-proses yang serupa. Didapat dar karya Sherard dan Kosslyn. Sherpard dan merzler (1971) mengajukan ide mengenai rotasi mental dengan menggunakan petunjuk visual terhadap stimuli visual dala memori.[3]
Hipotesis penyandian-ganda
Penelitian Paivio dan rekan-rekannya (1965;Paivio, Yuille, dan Madigan, 1968) mengenai imagery meminjam ide dari penlitian-penelitian awalyang berupaya menguantifikasikan imagery. Penelitian Paivio dkk. Menggunakan paradigma pembelajaran asosiasi-berpasangan (paired-assosiated learning), yang memang merupakan trend  pda masa itu. Langkah pertama yang diambil Paivio adalah menguantifikasikan kualitas imagery yang dimiliki oleh kata-kata benda. Dalam metode tersebut sekelompok mahasiswa (yang menjadi partisipan) menilai kata-kata benda berdasarkan kemampuan kata-kata benda tersebut untuk memunculkan suatu citra atau suatu gambar, memuat sample hasil penelitian tersebut, termasuk rating untuk imagery (kemampuan kata yang diujikan untuk membangkitkan citra nonverbal), rating untuk kekonkritan (rating terhadap acuan langsung ke pengalaman sensorik objek yang bersangkutan). Rating untuk kebermaknaan (jumlah rata-rata kata yang relevan, yang ditulis dalam waktu 30s), dan rating untk frekuensi(seberapa lazimnya kata yang bersangkutan). Data-data tersebut mendukung ide yang telah kita ketahui secara intuitif: bahwa beberapa kata besifat lebih visual (misalnya: gajah, tomahawk, dan gereja), dan beberapa kata lain cukup sulit divisualkan (seperti konteks, perbuatan, dan kebajikan).
            Studi yang dilakukan oleh Paivio dan rekan-rekannya telah mempelopori berkembangnya hipotesis penyandian ganda, yakni suatu teori yang menjelaskan cara informasi direperesentasikan dalam memori. Hipotesis tersebut disusun berdasarkan kesimpulan bahwa terdapat dua sistem penyandian (dua cara informasi direpresentasikandalam memori): proses imagery nonverbal dan proses simbolik verbal. Kedua sandi tersebut--imajinal dan verbal—kadang saling meliputi satu sama lain (overlap) selama pemprosessan informasi dalam tahap tersebut, sebuah skema penyandian akan menjadi dominan bagi suatu kata tertentu.
Hipotesis proposisional-konseptual
Andreson dan Bower, tokoh yang mengembangkan model HAM (Human Associative Memory) proposisional, mengkritik metafora “gambar mental” (mental picture). Mereka menyatakan bahwa “tidaklah shahih secara ilmiah untuk mengasumsikan bahwa memori, atau jenis-jenis pengetahuan lainnya, memiliki wujud serupa suatu foto internal atau seperti kaset video, atau rekaman tape , yang dapat kita aktifkandan kita putar ulang saat kita mengingat suatu citra”. Sekalipun kita mampu mengalamisuatu perasaan subjektif mengenai suatu citra, komponen kognitif yang mendasari pengalaman subjektif tersebut mungkin berupa suatu bentuk yang sangat berbeda dari suatu citra atau gambaran. Sebuah alasan yang mneyebabkan Adreson dan Bower menolak teori “gambar-dalam-kepala” berhubungan dengan argumen konservasi yang menyatakan bahwa dalil mengenai penyimpanan yang berisi gambar-gambar atau pemandangan-pemandangan yang lengkap adalah dalil yang tidak berguna, sebab sistem memori semacam itu akan memerlukan penyimpanan dan pengambilan yang melampaui kemampuan manusia. Sejumlah saran tetaplah diperlukan untuk penyimpanan dan menginterpretasikan gambar-gambar internal tersebut.
            Hipotesis proposisional-konseptual menyatakan bahwa kita menyimpan interpretasi-interpretasi terhadap peristiwa-peristwa (verbal dan visual), alih-alih menyimpan komponen-komponen citra atau gambaran. Andreson dan bower tidak menyangkal mundahnya mempelajari kata-kata yang konkrit dibandingkan mempelajari kata-kata yang abstrak, namun mereka mengatribusikan fenomena tersebut ke suatu gagasan bahwa konsep-konsep yang konkrit di sandikan olehsebuah set yang berisi macam-macam predikat, yang mengikat konsep-konsep tersebut sebagai suatu kesatuan. Mereka menyatakan bahwa “satu-satunya perbedaan antara representasi internal terhadap suatu masukan linguistik dan suatu gambaran memori adalah detail-detail informasi” (1973).
            Hipotesis  proposional-konseptual anderson dan bower adalah sebuah sudut pandang yang secara teoritik elegan, dan sesuai dengan model teoritik mereka (HAM). Meskipun demikian hipotesis tersebut memiliki kesulitan menjelaskan sejumlah proses imagery yang tampak memerlukan struktur internal yang bersifat isomorfikurutan kedua (secon-order isomorphic) terhadap objek fisik yang sesungguhnya. (isomorfisme adalah konsep psikologi gestalt, yang menyatakan bahwa bentuk atau wujud stimuli akan menimbulkan “peta” yang serupa, namun lebih merupakan representasi simbolik, di medan rangsangan korteks). Data-data penelitian yang mendukung proses-proses semacam itu telah disajikan oleh shepard dan rekan-rekanya.
Hipotesis Ekuivalensi-Fungsional
            Sebagian besar kegemparan dalam bidang perumpamaan mental pada era 1970-an disebabkan oleh demonstrasi dan interpretasi rotasi mental (mental rotation) yang dilakukan oleh shepard dan metzler (1971). Dengan menggunakan isyarat-isyarat dan petunjuk-petunjuk visual, shepart mempelajari rotasi mental terhadap stimuli visual dalam memori. Dalam eksperimenya, para partisipan menyaksikan dua gambar dan mereka diminta apakah kedua gambar tersebut adalah objek yang sama. Dalam beberapa kasus, pola kedua adalah suatu bayang-bayang cermin (miror image)dari gambar pertama sehingga tidakkah “sama” dengan stimulasi yang asli, namun diputar (dirotasi). Derajat rotasi berkisar antara 0 derajat hingga 180 derajat. Variabel  bergantung (departemen variable) adalah jumlah waktu yang digunakan untuk penilaian. Hasil eksperimen tersebut menunjukan bahwa waktu yang di perlukan untuk merespon adalah sebuah fungsi linear dari derajat rotasi. Artinya, stimulus yang dirotasi hanya dalam derajat yang kecil akan menimbulakan waktu respon yang singkat, sedangkan stimulus yang dirotasi dalam derajat rotasi yang besar menimbulkan waktu respon yang lebih lama. Data-data tersebut menunjukan bahwa representasi internal dari setiap stimuli memerlukan waktu sekitar 1 detik untuk setiap rotasi sebesar 50 derajat. Hasil eksperimen shepart memiliki pengaruh luas bagi teori kognitif. Hubungan antara waktu yang diperlukan dan derajat rotasi mengindikasikan bahwa proses internal adalah sebuah fungsi teratur (orderly function) dari jumlah transformasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, terdapat sebuah hubungan yang dekat antara waktu yang diperlukan untuk rotasi mental yang spesifik dan derajat rotasi yang sesungguhnya.
            Shepard (1968) dan Chipman (1970) mengenalkan istilah isomorfisme urutan kedua (second-order isomorphism) untuk mepresentasikan hubungan antara objek-objek eksternal dan representasi-representasi internal dari objek-objek yang tidak termasuk jenis isomorfik. (isomorfik adalah konsep psikologi Gestalt yang menyatakan bahwa bentuk atau wujud stimuli akan menimbulkan “peta gambaran” yang serupa dengan stimuli aslinya, dimedan renagsangan korteks, namun “peta” tersebut lebih merupakan represenasi simbolik dan bukan merupakan salinan yang sama persis dengan stimuli aslinya). Perbedaan antara isomorfisme urutan pertama dan isomorfisme urutan kedua adalah perbedaan yang hampir-hampir tidak kentara, namun tetaplah penting. Dalam isomorfisme urutan kedua, objek tidak direpresentasikan secara langsung atau secara struktural dalam otak kita, namuncara kerja hubungan-hubungan internal tersebut sangat menyerupai cara kerja hubungan-hubungan eksternal (sehingga disebut “urutan kedua” atau “second order”).[4]


2.4 Imagery Visual
a.          Imagery Rotasi
Bayangkan dua desain 3D di kertas, lalu putar gambar disebalah kiri dan kanan. Jika setelah diputar bayangan gambar tersebut serupa, maka dapat dikatan bahwa gambar tersebut sama, apabila gambar tersebut tidak serupa maka dapat dkatakan bahwa gambar ituu tidak sama. Menurut Roger Shepard, operasi yang telah kita lakukan atas objek didalam pikirkan (yang berarti juga dilakukan dalam mental) serupa dengan operasi yang kita lakukan atas objek fisik yang sesungguhnya. Selain itu, jika kita merotasi gambar yang sudah dikenal akan lebih mudah dari pada  merotasi gambar yang belum dikenal.
b.         Imagery Ukuran
Hasil penelitian membuktikan bahwa orang akan cepat membuat penilaian terhadap objek berukuran besar dibandingkan dengan objek berukuran kecil. Misalnya ketika disandingkan antara gajah dan kelinci, maka binatang gajah akan lebih cepat dikenali dibanding dengan binatang kelinci.
c.          Imagery Bentuk
Hasil penelitian Paivio (1969) menunjukan bahwa semakin besar sudut yang dibentuk jarum jam maka semakin cepat waktu yang diperlu untuk melakukan keputusan. Karteristik mental image, yaitu:
a.       apabila orang merotasi mental image, suatu rotasi besar membutuhkan waktu lebih lama, sam seperti merotasi stimulus fisik denngan derajat yang besar.
b.      Orang membuat penilaian ukuran dengan cara yang sama untuk mental image dan stimulus fisik, kesimpulan ini berlaku untuk visual image dan auditory.
c.       Orang membuat keputusan mengenai bentuk dengan cara serupa untuk mental image dan stimulus fisik. Hal ini hanya berlaku untuk bentuk-bentuk sederhana (misalnya sudut yang bentuk jarum jam dan bentuk rumit seperti daerah geografis).
Imagery konsep “Bagian dan Keseluruhan”
Penelitian dari Red tentang suatu pola merupakan bagian dari pola yang dilihat sebelumnya yang menunjukan bahwa patisipan hanya benar 14% dari waktu yang disediakan dan secara keseluruhan hanya 55%. Hal ini menunjukan bahwa orang tidak dapat menyimpan mental pictures. Orang menyimpan mental picture sebagai penjelasan didalam kode preposisional.
d.         Imagery Figure Yang Ambigu
Ketika dilakukan penelitian pada gambar ambigu, dari 15 patisipan menunjukan bahwa tidak ada satu orang pun yang mampu menginterpretasikan gambar tersebut, padahal sebgian dari mereka termasuk kategori “high imagery”. Tetapi ketika diminta membuat gambar dari memori dan menginterpretasikannya kembali, 15 orang tersebut dapat menginterpretasikan. Gambar visual dapat diinterpretasikan jika stimulus dan intruksinya sesuai; pengkodean dapat secara nyata meliputi anlog pada beberapa situasi.
e.       Imagery intervensi
Ada dua hasil penelitian yang menunjukan bahwa persepsi visual dapat mengganggu visual imagery, dan visual imagery dapat pula mengganggu persepsi visual.
·         Visual task interfering with visual imagery
Hasil penelitian Brooke (1968) menunjukan bahwa persepsi visual kita dapat mengganggu tugas yang memerlukan visual imagery, sebalikan tugas yang memerlukan visual imagery dapat mengganggu persepsi visual
·         Visual imagery interfering with visual task
Hasil penelitian Segal (1970) menunjukan bahwa partisipan kurang tepat mendeteksi stimulus fisik apabila image dan isyarat ada didalam sensori mode yang sama.[5]
2.5 Dukungan Neurosains Kognitif
Selain data waktu disajikan dalam eksperimen-eksperimen Shepard, sejumlah peneliti telah menyajkan bukti-bukti neurologis yang mendukung rotassi mental. Salah satu studi tersebut, yang dilakukan oleh Georgopoulos, Lurito, Petrides, Schwartz, dan Massey (1989, adalah studi yang menarik. Para peneliti tersebut menguji aktivitas elektrik dalam otak seekor kera rhesus saat kera tersebut melakukan suatu tugas rotasi mental. Kera tersebut dilatih untuk memutar sebuah gagang sebagai respons terhadap lokasi suatu berkas cahaya. Jika cahaya tersebut muncul di lokasi tertentu, kera tersebut harus memutar gagang kearah cahaya tersebut. Penelitian itu sendiri sesungguahnya bertujuan menyelidiki prosesyang terjadi di korteks kera tersebut, yang di interpretasikan para peneliti sebagai rotasi mental, persis sebelum kera tersebut memeutar gagang. Beberapa milidetik sebelum terjadinya respons, kera tersebut telah mengantisipasi gerakan tersebut. Proses kognitif inilah (antisipasi itu sendiri) yang menarik minat para peneliti, yang berupaya mengukur proses tersebut. Georgopoulos dan rekan-rekannya mengukur aktivita elektrik dalam korteks motorik keratersebut selama periode kritis, dan denganbantuan grafik yang dihasilkan komputer, para peneliti menemukan sel-sel otak yang memberikan respons sesuai pola-pola yang berkaitan dengan atah berkas cahaya tersebut. Hasil penelitian menunjukan adanya bukti neurologis langsung terhadap rotasi mental sekaligus memunculkan hipotesis mengenai manfaat penggunaan rekaman “sel-tunggal” (single cell recording) aktivitas neural sebagai pelengkap data-data behavioral dalam pengidentifikasian kerja-kerja kognitif.
            Berdasarkan hasil-hasil penelitian Shepard dan rekan-rekannya, dan juga berdasarkan penemuan-penemuan neuronsains kognitif, terbentuklah asumsi kuat yang mendukung keberadaan bayangan-bayangan atau gambaran-gambaran dalam pikiran yang setidaknya secara fungsional identik dengan objek-objek dunia nyata (bahkan bisa jadi secara struktural identik).
Serangkaian penelitian yang lain mempelajari ukuran dan karakteristik spasial dari sebuah objek serta mempelajari bagaimana ukuran dan karakteristik spasial tersebut mempengaruhi pemrosesan kognitif. Dalam serangkaian eksperimen, Kosslyn dan rekan-rekannya (Kosslyn,1973,1975,1976a,1977,1980,1981,1994,1995;Kosslyn dan Pomerantz,1977;Kosslyn dkk.,1993) telah mempelajari imagery berdasarkan sudut pandang karakteristik-karakteristik spasialnya dan, baru-baru ini, dengan bantuan tegnologi pencitraan otak (akan di diskripsikan nanti). Penelitian Kosslyn terutama mendemostrasikan bahwa sebuah gambar mental memiliki kemiripan dengan persepsi suatu objek yang riil. Sebagian besar eksperimen Kosslyn dibuat berdasarkan asumsi bahwa sebuah citra atau gambaran memiliki karakteristik-karakteristik spasial, yang dapat dipindai, dan sistem kognitif memerlukan waktu lebih lama untuk memindai jarak yang jauh dibandingkan jarak yang dekat. Dalam sebuah eksperimen (1973) Kosslyn meminta para partisipan untuk menghafalkan set berisi gambar-gambar, yang kemudian membayangkan gambar-gambar tersebut satu per satu. Sebagai contoh,mereka diminta “memusatkan perhatian”pada ujung objek yang mereka bayangkan (sebagai contoh,jika objek yang mereka bayangkan adalah sebuah perahu motor, mereka diminta “mengamati” bagian perahu tersebut). Para peneliti menyebutkan karakteristik yang mungkin muncul dalam gambaran asli, dan para partisipan diminta menentukan apakah karakteristik tersebut sungguh-sungguh muncul dalam gambar yang asli tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa para partisipan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat keputusan mengenai karakteristik-karakteristik yang melibatkan pemindaian terhadap jarak. Sebagian contoh, pemindaian dari buritan kapal (stren) ke haluan kapal (porthole) ke haluan. Para pertisipan yang dimintai memepertahankan seluruh gambar dalam benaknya tidak menunjukkan perdedaan waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik dari lokasi-lokasi yang berbeda. Tampaknya, gambar-gambar mental dapat dipindai, dan waktu yang diperlukan untuk memindai gambar-gambar mental tersebut sama dengan waktu yang diperlukan untuk memindai gambar-gambar riil.
Perumpamaan mental dan persepsi stimulus riil memiliki banyak kesamaan. Meskipun demikian, untuk memuaskan keingintahuan kita akan kesempurnaan analogi persepsi pada perumpamaan (imagery), bukti-bukti neurologis. Observasi klinis oleh Luria (1976) dan Farah (1988,1995) terhadap para pasien yang mengalami kerusakan neurologis bahwa kerusakan hemisfer otak kiri berkaitan dengan gangguan memori verbal, sedangkan kerusakan hemisfer otak kanan berkaitan dengan gangguan memeori visual. Penemuan-penemuan tersebut mendukung teori penayandian ganda: sebuah sistem lainnya diguankan untuk menyandikan dan memproses informasi verbal.
Dasar penelitian (rationale) yang melandasi sebagian besar eksperimen terkait aktivitas otak dan imagery adalah bahwa pengaktifan suatu proses kognitif, seperti imagery atau fikiran verbal, diekspresikan dalam wujud aktivitas otak yang terpusat (terlokalisasi), yang diukur melalui aliran darah religional.[6]
2.6 Peta Kognitif
Peta kognitif adalah representasi internal bagaimana lingkungan spasial kita tersusun.peta mental dapat diliputi gambaran seperti pada peta, dan juga preposisi. Informasi pada peta mental dapat meliputi pengetahuan penujuk arah dan pengetahuan prosedural. Peta mental meliputi pengetahuan survey, melalui peta atau menjelajahi lingkungan berulang-ulang.
1.      peta kognitif : jarak
jumlah kota yang menghalangi memiliki pengaruh yang jelas dalam memperkirakan jarak. Secara umum, bila dua kota didstribusikan secara acak pada suatu daerah (Jakarta dan Bandung), dua kota lain tentu saja terpisah lebih jauh saat ada tiga kota lain (Cianjur, Purwakarta dan Bogor)diantara dua kota tersebut ; dua kota tanpa ada yang menghalangi kelihatanlebih dekat satu dengan yang lain. Orang menganggap dua kota berjarak dekat satu sama lain apabila jalan yang menghubungkannya adalah garis lurus dibandingkan dengan rute yang tidak langsung. Berdasarkan penelitian oleh Hirtle & Mascalo, 1986; Hirtle & Jonides, 1985; dalam Matlin (1998) dapat disimpulkan bahwa terdapat distorsi dalam perkiraan 30 jarak pada saat dua tempat terlihat dekat secara sematik, kita percaya bahwa kedua tempat tersebut berdekatan secara geografis.

2.      Peta kognitif : Bentuk
Penelitian yang dilakukan oleh Moar dan Bower (1983) tentang perkiraan orang terhadap sudut yang dibentuk oleh persimpangan dua jalan adalah partisipan menunjukan kecenderungan “mengatur” sudut sehinggan terlihat seperti sudut 90’. Hal tersebut dapat terjadi karena kita menggunakan heuristic atau simple-role-of-tum. Pada rule-of-tumb, saat dua jalan bertemu mereka memebentuk sudut 90’. Akan lebih mudah untuk menggambarkan sudut pada peta mental mendekati 90’ daripada sudut yang sebenarnya. Contoh ini dapat lerlihat pada peta biasanya dibubuhkan pada bagian belakang undangan pernikahan.

3.      Peta Kognitif : Posisi Relatif
a. The Rrotation Heuristic
          gambar yang agak miring akan diingat sebagai gambar yang lebih vertikal atau horizontal dari pada yang sebenarnya.
b. The Alignment Heuristic
gambar akan diingat lebih sejajar daripada yang sebenarnya.

2.6 Sinestesia: Suara yang Dihasilkan Warna dan Warna yang Dihasilkan Suara
            Sinestesia adalah suatu kondisi ketika sensasi-sensi dari sebuah modalitas perseptual (misalnya penglihatan) dialami juga dalam modalitas yang lain (seperti pengdengaran). Seperti orang dapat mengecap bentuk, meraba bunyi,atau melihat angka dan huruf dalam warna.
            Sinesstesia seperti dikendalikan oleh peraturan tertentu dalam otak, dan tidak terjadi secara acak. Sebagai contoh: terdapat hubungan positif antara peningkatan pola titinada (pitch) suatu suara dan peningkata kecermalng (bersin cenderung lebih terang dibanding batuk).
            Penelitian neurokognitif mengatakan bahwa yang terjadi dalam otak ketika sinestesia terjadi adalah adanya “percakapan silang” antara bagian otak yang satu dan yang lainnya, atntara bagian visual dan auditori sebagai contoh. Hal ini dapat terjadi karena pada sistem pemrosesan informasi terjadi karena pararel dan berlebih di dalam otak. Vilayanur Ramachandran dan Brain and Perception Laboratory (UC San Diego) mengatakan bahwa otak manusia disetel secara genetis sedemikian rupa sehingga konsep-konsep, persepsi-persepsi, dan nama-nama objek secara rutin saling terhubung bersama satu sama lain, sehingga memunculkan metafora-metafora yang digunakan bersama secara luas – seperti baju berwarna “meriah atau keju berbau “tajam”. Tumpang tiindih istilah yang metafora seperti ini biasa kita jumpai di dalam karya puisi yang ditulis oleh penyair dan cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis.[7]


PENUTUP
BAB III

3.1 Kesimpulan
1.      Imagery adalah proses membayangkan (memvisualisasikan) sesuatu yang tidak ada pada saat proses membayangkan.
2.      Tiga era historis dalam sejarah perumpamaan mental: era filosofis, era pengukuran, dan era kognitif.
3.      Teori-Teori Representasi Pengetahuan Secara Visual
                                                   a.     Hipotesis penyandian ganda (dual-coding hypothesis)
                                                   b.     Hipotesis proposional konseptual (conceptual-propositional hypothesis)
                                                   c.     Hipotesis ekuivalensi funsional (funcional-equivalency hypotesis)
4.      Imagery Visual
a.      Imagery Rotasi
b.      Imagery Ukuran
c.       Imagery Bentuk
d.      Imagery Figure Yang Ambigu
e.       Imagery intervensi
5.      Selain data waktu disajikan dalam eksperimen-eksperimen Shepard, sejumlah peneliti telah menyajkan bukti-bukti neurologis yang mendukung rotassi mental. Salah satu studi tersebut, yang dilakukan oleh Georgopoulos, Lurito, Petrides, Schwartz, dan Massey (1989, adalah studi yang menarik. Para peneliti tersebut menguji aktivitas elektrik dalam otak seekor kera rhesus saat kera tersebut melakukan suatu tugas rotasi mental.
6.      Sinestesia adalah suatu kondisi ketika sensasi-sensi dari sebuah modalitas perseptual (misalnya penglihatan) dialami juga dalam modalitas yang lain (seperti pengdengaran). Seperti orang dapat mengecap bentuk, meraba bunyi,atau melihat angka dan huruf dalam warna.


DAFTAR PUSTAKA

Solso, Robert L. 2007. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Baihaqi, MIIF. 2016. Pengantar Psikologi Kognitif. Bandung: Refika Aditama.


[1] MIF Baihaqi, Pengantar Psikologi Kognitif, (Bandung:Refika Aditama,2016), hlm,131.
[2] Robert L.Solso, dkk, Psikologi Kognitif (edisi 6), (Jakarta: Erlangga,2007), hlm 297-300.
[3] MIF Baihaqi, Pengantar Psikologi Kognitif, (Bandung:Refika Aditama,2016), hlm,134.
[4] Robert L.Solso, dkk, Psikologi Kognitif (edisi 6), (Jakarta: Erlangga,2007), hlm 297-300.301-305.
[5] MIF Baihaqi, Pengantar Psikologi Kognitif, (Bandung:Refika Aditama,2016), hlm,135-137.
[6] Robert L.Solso, dkk, Psikologi Kognitif (edisi 6), (Jakarta: Erlangga,2007), hlm 297-305-309..
[7] MIF Baihaqi, Pengantar Psikologi Kognitif, (Bandung:Refika Aditama,2016), hlm,137-139.

Comments

Popular posts from this blog

CONTOH MAKALAH KESADARAN (PSIKOLOGI)

KESADARAN Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Psikologi Umum Dosen Pengampu : Syarifuddin Faisal Tohar Disusun Oleh : Dina Veronita                    933608716 Kelas E JURUSAN USHULUDDIN PRODI PSIKOLOGI ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 2 016 KATA PENGANTAR Segala puji bagi   Allah SWT, yang telah memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan inayah Allah SWT a khirnya Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “ Psikologi Umum   ’’ .   Kediri, 26 Oktober 2016   Penyusun DAF

sahabat , tabi'in dan atba' tabi'in

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Hadist   Nabi sampai kepada kita melalui proses periwayatan para periwayat dari generasi sahabat ke generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in kemudian dikodifikasikan. Para periwayat awal berkonsentrasi penuh dalam mempelajari autentik atau tidaknya suatu hadist melalui periwayatan ini. Mereka yang diterima periwayatannya berarti memenuhi persyaratan yang telah digariskan.   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa pengertian sahabat? 2.       Apa pengertian tabi’in? 3.       Apa pengertian atba’ tabi’in? C.      Tujuan 1.       Mengetahui pengertian sahabat 2.       Mengetahui pengertian tabi’in 3.       Mengetahui pengertian atba’tabi’in BAB II PEMBAHASAN A.     Sahabat Nabi a.        Pengertian sahabat Ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan sahabat. Menurut ulama’ hadits sahabat ialah setiap yang melihat rasulullah, walaupun tidak lama persahabatannya, dan tidak meriwayatkan sehadits

contoh makalah aliran behaviorisme (psikologi)

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Masalah Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, perilaku dan, proses mental, dalam Psikologi ada beberapa macam aliran salah satunya ialah aliran behaviourisme dalam aliran ini penelitian difokuskan pada tingkah laku manusia, dengan asumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan wujud dari kejiwaan   manusia maupun hewan lainnya. Alasan kita mempelajari tentang Psikologi Behaviorisme adalah agar kita mengetahui mengenai makna dari psikologi dan behavioristik itu sendiri. Kita juga akan  menjadi tahu hal-hal yang mungkin belum kita ketahui dalam Psikolgi Behaviorisme tersebut, karena dengan kita mempelajarinya bertambahlah wawasan kita mengenai ilmu Psikologi Behaviorisme itu.Selain itu kita dapat mengetahui pendapat-pendapat mengenai Psikologi Behaviorisme ini dari para tokoh-tokoh, dan lain-lain. 1.2   Tujuan - Untuk mengetahui makna dari Psikologi Behaviourisme - Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang mengemukakannya -